Latest Article

Covid-19 dan Katalisator Era Disrupsi

Di akhir tahun 2019 dan awal 2020 ini dunia dihujam wabah hebat. Covid-19 yang belum ada vaksinnya itu ditetapkan menjadi pandemi oleh WHO pertengahan Maret lalu. Kita diberi ujian berupa musuh yang dilawan semua orang.


Kaya, miskin, tua muda, orang dari berbagai haluan semua terdampak secara langsung maupun tidak dari keganasan virus ini. Wabah ini kelak menyisakan semua orang pada pihak yang kalah atau menang. Tidak seperti kelaparan dan perang misalnya, yang pada akhirnya menyisakan satu pihak sebagai yang menang.

Yogyakarta pernah mengalami kehilangan setengah populasi akibat Perang Jawa tahun 1825-1930. Diponegoro menjadi pihak yang kalah di perang itu, akibatnya pengaruh Belanda di keraton menguat, para penguasa di Jawa hampir semuanya tunduk pada Belanda di tahun-tahun setelahnya. Side effect seperti sinofibia juga muncul akibat perang ini.

Di periode lain pada abad 14 orang Eropa pernah mengalami wabah Black Death yang menyapu sepertiga populasi Eropa. Salah satu akibatnya perbudakan berkurang dan gerakan renaisans yang membaharui segala aspek kehidupan meningkat. Kita berpotensi menghadapi wabah seperti itu, tapi di dunia modern ini optimisme sedikit lebih baik karena sains dan teknologi sudah berada di tataran yang tinggi.

Sebagian orang berusaha melakukan framing betapa jauh lebih sedikitnya jumlah kematin terpapar Covid-19 dibanding influenza misalnya. Selain angka kematian seharusnya tidak etis untuk diperbandingkan, kita tidak boleh lupa akan kenyataan dampak kerugian ekonomi Covid-19 jauh lebih besar. Sebuah ungkapan satir muncul: orang-orang tidak mati karena Corona, tapi mati karena berpikir keras besok mau kerja apa dan makan apa.

Sejak kasus pertama Covid-19 muncul di negeri ini, banyak musisi diberitakan kehilangan jadwal manggung, para produser film pun harus menunda waktu syuting mereka. Pun pedagang kecil yang berjualan pempek, dagangannya tidak balik modal dan ibu-ibu yang berjualan di kantin sekolah ikut tutup sejak sekolah diliburkan. Sayangnya, kuliah dan sekolah online itu tentu tidak bisa mengikutkan orang-orang berkegiatan ekonomi yang bergantung terhadap aktivitas off-line mereka: ibu kantin, tukang parkir kampus, pedagang kaki lima di depan sekolah, dsb.

Sejak hampir sebulan lalu kampus-kampus diliburkan. Mahasiswa dan dosen dituntut bertemu secara virtual agar proses belajar tetap berjalan, sesuatu yang seharusnya bisa dilakukan sejak lama, kecuali mereka dosen dan mahasiswa Teknik Mesin yang harus memutar mesin bubut di laboratorium atau mahasiswa keperawatan yang harus praktik membedah katak. Dan orang kantoran, bisa bekerja di balik layar PC di rumah dengan sesekali bersua dengan rekan kerja via aplikasi Zoom.

Sebentar lagi, bukan tidak mungkin pekerja harian seperti tukang sayur, tukang bakso atau tukang pempek dituntut merubah cara penjualan mereka. Tanda kehadiran mereka dengan ketukan piring “ting, ting, ting!” ataupun terompet mungkin akan segera berganti menjadi notifikasi di gadget para konsumennya.

Ketika wabah ini berakhir nanti, akan ada banyak hal diperbaiki. Dari wabah ini telah dan akan muncul ide-ide disruptif sebagai anti-tesis atas cara-cara lama untuk melanjutkan aktivitas keseharian. Selain hal-hal yang saya sebutkan di atas, higienitas personal seperti mandi sehabis beraktivitas di luar rumah, cuci tangan setelah ngupil dan sebelum makan, atau menahan batuk dan bersin di lipatan siku, sampai hal-hal yang lebih luas seperti pemanfaatan teknologi yang mendukung social distancing dan standard K3 yang lebih tinggi.

Setelah gempa bumi melanda Palu dan Donggala akhir cawu 2018 lalu, beberapa instalasi kelistrikan seperti PLTU di Palu rusak hebat. Sejak saat itu pula penentuan lokasi infrastruktur kelistrikan lebih mempertimbangkan faktor kebencanaan seperti menghindari zona patahan gempa dan zona likuifaksi.

Di dunia medis misalnya, beberapa puskesmas sudah menerapkan konsultasi kesehatan via online yang tentunya dalam beberapa hal cukup membantu pasien karena tidak perlu antre dan bisa beristirahat di rumah. Saya juga teringat teman kuliah saya yang dalam tugas akhirnya mengembangkan duplikasi gerakan tangan pada sebuat alat. Pendeknya dengan alat itu nantinya orang bisa menjinakkan bom dengan tangan palsu yang digerakkan dari jarak jauh, atau melakukan operasi bedah tanpa menyentuh langsung tubuh pasien.

Sebetulnya teknologi disruptif sudah berkembang sebelum wabah Covid-19 melanda, namun belum mencapai titik maksimum, artinya kurvanya masih datar. Kita berharap wabah ini segera pergi, nantinya kita bisa menjadi makhluk yang lebih kuat, lebih melek teknologi, dan lebih tawakal untuk bersiap menghadapi ujian lain di masa datang.

Penulis: Ismail Nur Hidayat

Tidak ada komentar